Kemiskinan Berawal Dari Pikiran

Suatu pagi, sehari sebelum ulang tahun Republik Indonesia ke-66, saya mampir ke sebuah warung di pojokan Pal Merah dan Jalan Jenderal S. Parman untuk makan bubur kacang hijau. Warung itu ditutupi kain penutup karena buka pada bulan puasa. Di dalam duduk seorang bapak dan seorang gadis kecil yang wajahnya manis.

Begitu saya duduk, si anak kecil berkata kepada saya sambil menunjuk mi instan yang digantung, dan berkata: “Beliin supermi Om.” Mendengar itu langsung saya menyimpulkan bahwa anak itu bukanlah anak dari si bapak yang sedang menikmati kopinya. Dan keberanian si anak mendatangkan kesimpulan sementara pula bahwa si gadis kecil adalah anak jalanan, walaupun tampilannya cukup rapi. Untuk memastikan pendengaran saya, saya ulangi permintaannya: “Kamu minta dibeliin supermi?” tanya saya. “Ya Om” jelasnya. Lalu saya katakan kepada pemilik warung: “Tolong buatkan superminya, nanti saya yang bayar.” Si gadis cilikpun menimpali: “Pakai telur.”

Sambil menunggu mi instannya masak, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada di anak kecil itu dan mendapati bahwa dia berusia 8 tahun, nama Yuli, status sebagai pengamen, ibunya menjadi Jokey dan ayahnya sebagai buruh. Dia sudah tidak sekolah, dan tidak mau sekolah. Sewaktu saya tanya apa cita-citanya, alias mau jadi apa nanti setelah besar, dia katakan mau jadi pengamen. Sewaktu saya tanya berapa penghasilan dari mengamen, dijawabnya biasa dapat goceng.

Setelah saya menghabiskan bubur kacang hijau, sayapun menanyakan kepada pemilik warung berapa semua yang harus saya bayar. Ketika dikatakan Rp.9.000,- dan saya kasih Rp.20.000,- maka saya mendapat kembalian Rp.11.000,- Melihat saya menerima kembalian itu, si Yuli berkata: “Minta uang Om.” Lalu saya pisahkan uang itu, Rp.10.000,- di tangan kanan dan Rp.1.000,- di tangan kiri, dan saya tawarkan kepadanya, mau pilih yang mana. Yuli menunjuk tangan kanan saya, dan uang Rp.10.000 itu pun saya berikan kepadanya.

Peristiwa yang singkat di atas memberi pesan tertentu kepada saya. Anak-anak jalanan itu memang memiliki jiwa kewirausahaan, tetapi tidak atau belum memiliki mindset yang benar. Mereka tidak memiliki impian yang besar. Impian yang kecil itu mereka lekatkan kepada belief yang kecil pula. Mereka percaya bahwa profesi yang mereka jalankan memang telah menjadi bagian hidup mereka.

Namun mereka telah menerapkan kebiasaan yang baik, yaitu “meminta” tanpa mengerti bahwa ribuan tahun yang lalu  Tuhan telah memberikan FirmanNya, seperti: “Mintalah maka kamu akan menerima, sehingga sukacitamu akan menjadi penuh” (Yoh 16:24), atau “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11:24).

Benarlah bahwa kunci sukses itu dimulai dari mindset yang benar, didukung dengan belief dan habits yang baik, dan dilaksanakan dengan strategi yang tepat.

Dirgahayu Republik Indonesia

Jakarta, 20 Agustus 2011

No comments:

Post a Comment